Waktu menunjukan pukul 04:00 pagi , Gelap masih menyelimuti heningnya malam kota
Jakarta. Suara lengkingan ayam saling bersahutan dipenjuru kota, masih banyak
orang yang terbuai dalam mimpinya. Tetapi di sebuah daerah kumuh pinggiran
Jakarta, ada seorang pria tua yang sedang menangis dan meminta doa kepada Allah
untuk kehidupannya yang lebih baik. Ia adalah Pak karto, sosok bapak yang gigih
dalam hidupnya. Pak Karto mempunyai seorang istri yang bernama Ibu Sumiyati,
yang bekerja sebagai penjahit dirumahnya. Pak karto mempunyai ekonomi yang
kebawah, jangankan makan enak, membeli beras saja terkadang harus berhutang
kepada warung. Tetapi Pak Karto adalah ayah yang amat sayang kepada anak semata
wayangnya yang bernama Zahra. Walaupun Pak Karto tidak punya uang yang cukup,
tetapi dengan kegigihannya anaknya tetap bersekolah.
Sesudah sholat dan berdoa, Pak Karto yang bekerja sebagai
pemulung, sudah sibuk mempersiapkan alat kerjanya, berupa tongkat dan karung
yang sudah usang. Pekerjaannya adalah pemulung limbah kertas di sebuah
percetakan yang lumayan dekat dengan rumahnya. Pak karto hanya sarapan dengan
segelas air putih yang hangat, itu adalah kebiasaan Pak Karto. Setelah sarapan,
Pak Karto bergegas pamit kepada anak dan istrinya untuk bekerja. Dengan sandal
jepitnya yang beda hamper putus, Pak Karto berjalan dengan penuh semangat
seperti mentari pagi yang menyinari seluruh kota. Sesampainya di tempat
mangkalnya, Pak Karto langsung mencari limbah-limbah yang bias dijual lagi,
walau harus berebut dengan pemulung lain, tapi Pak Karto adalah orang yang
sabar dan mau mengalah kepada orang lain, karena Pak Karto selalu berfikir
“Pasti, saya akan mendapatkan yang lebih baik kalau bersabar dan mengalah”.
Tak terasa suara Adzan Dzuhur sudah
bergema di masjid dekat tempat percetakan itu. Dengan seiring suara Adzan
Dzuhur itu Pak Karto bergegas pulang dan membersihakn dirinya untuk
melaksanakan Sholat Dzuhur. Selain pemulung Pak Karto juga marbot musholla
dekat rumahnya, ia menjadi marbot seusai memulung.
Malam pun menyelimuti penjuru kota, pinggiran kota Jakarta
yang kumuh penuh dengan kisah-kisah menyedihkan, menyimpan sejuta tanya yang
pemerintahnya tak bertanggung jawab atas rakyatnya. Zahra anak perempuan Pak
Karto mengeluh dadanya sakit, sampai badannya demam dan tubuhnya lemas. Namun
Pak Karto hanya membelikannya obat warung, karena ia kira penyakit biasa pada
anak-anak. Ada keinginan Pak Karto untuk mebawanya ke puseksamas. Namun Pak
Karto hanya bisa menahan rasa sedih karena tidak bisa membawanya ke dokter atau
puskesmas, karena penghasilannya yang pas-pasan, untuk makan saja susah.
Sudah hari ke-3 Zahra mengeluh dadanya sakit . Pak Karto dan
Ibu Sumiyati berfikir, untuk mendapatkan uang tambahan agar Zahra bisa dirujuk
ke Puskesmas/Rumah Sakit. Ibu Sumyati teringat dia menyimpan uang tabungan
dilemari pakaiannya yang hamper rubuh. Uang itu pun hanya cukup dipergunakan
untuk modal usaha. Ibu Sumiyati yang tadinya hanya menjahit dirumah sekarang
setiap pagi berdagang kue-kue pasar di pasar belakang rumahnya. Pak karto pun
juga tidak diam, hanya memulung saja. Sesudah siangnya ia memulung, malamnya
Pak Karto bekerja sebagai tukang parkir disebuah kios.
Sampai suatu ketika Zahra pingsan disekolahnya, guru Zahra
langsung membawa Zahra ke puskesmas terdekat. Guru Zahra yang lain segera
menuju rumah Zahra untuk memberi tahu Ibu sumyati. Ibu sumyati setengah lemas
berlari menuju tempat kerja Pak Karto. Pak karto, yang sedang memulung pagi itu
langsung bergegas meninggalkannya pekerjaannya. Mereka berdua bergegas menuju
puskesmas dengan muka penuh kecemasaan.
Sesampainya di puskesmas, Pak Karto menahan tangis melihat
anaknya terbaring lemah di ruang UGD puskesmas, dokter pun menyuruh mereka
keluar dari ruangan karena kondisi Zahra yang sedang darurat. Tak lama dokter
pun keluar, dan Pak Karto pun menghampirinya dengan muka pucat pasi. “Bapak,
anak bapak terkena penyakit hepatitis, karena penyakitnya sudah lumayan parah,
anak bapak harus di rujuk ke Rumah Sakit yang lebih memadai” kata dokter kepada
Pak Karto. Spontan Pak Karto menjawab “Baikalah dok, demi kesehatan anak saya”.
Pak Karto tidak memikirkan uang saat itu yang hanya ada di pikirannya “Akan
kukerjakan apapun demi kesehatan anakku.”
Pak Karto dan istrinya adalah seorang yang sangat kuat dalam
ibadahnya, karena menurut mereka Allah selalu bersama mereka dan menguji
keimanan mereka. Suatu malam Pak Karto berdoa untuk kesembuhan anaknya, hingga
kakinya bengkak karena terlalu lama khusyuk berdoa. Sesudah sholat seperti
biasa pak karto segera pergi memulung. Dengan jalan sedikit pincang dan bermuka
pucat, Pak Karto menuju tempat mangkal biasa ia memulung.
Sesampainya di tempat percetakan, Pak Karto pun memulung dan
terus mencari limbah yang masih bias dijual. Sampai suatu ketika, Pak Karto
melihat Komputer yang masih bagus dan mahal, yang tidak ditunggui oleh
penjaganya. Ada sekelebat niatan Pak karto ingin mengambilnya. Tetapi karena
keimanan kepada Allah SWT yang kuat dan dengan kejujurannya Pak Karto tidak mau
membuat dosa dan masalah dalam hidupnya. Namun ada seorang teman pemulungnya
yang melihat komputer itu juga, iya berniat ingin mengambilnya. Sesaat hampir
mengambilnya, tiba-tiba pak karto mencegahnya, hingga sedikit berkelahi dengan
teman sesama pemulungnya itu. Tak sengaja Direktur percetakaan yang baru datang
dari rumahnya, melihat kejadiaan itu. Teman pemulungnya pun kabur karena
ketakutan melihat Direktur percetakan yang baru keluar dari mobilnya itu. Lalu
Direktur percetakan itu bertanya kepada Pak Karto tentang kejadian tadi. Pak
Karto pun menjelaskan kronologinya. Direktur percetakan pun mengucapkan terima
kasih kepada Pak Karto yang telah menyelamatkan komputer di tokonya itu.
Hari pun semakin siang, matahari semakin terik, hingga berasa
jaraknya hanya sejengkal dengan kepala. Pak Karto pun terduduk lemas disebelah
percetakan, didekat mobil mercy direktur percetakan, menunggu matahari sembunyi
dibalik awan. Pak Karto yang hanya sarapan dengan air putih, menahan hebatnya
lapar siang hari, hingga perutnya diganjal dengan limbah kertas yang disatukan.
Tak lama kemudia, Pak Karto mendadak terserang pusing yang hebat, hingga
membuatnya jatuh pingsan. Tak ada seorang pun yang menolong, teman-temannya
sesama pemulung hanya mengira ia sedang tidur.
Suara Adzan Maghrib saling bersautan di penjuru kota,
matahari pun semakin meredup sinarnya. Ibu sumiyati khawatir karena suaminya
belum kunjung pulang dari pagi. Tak lama lagi toko percetakan ingin tutup. Pak
Karto setengah sadar, ia masih terbaring lemas di dekat mercy direktur
percetakan.
Toko percetakan pun sudah tutup, direktur percetakan bergegas
pulang, dan menuju mobilnya. Sesampainya dimobil ia terkejut, melihat sosok
bapak tua yang usang terbaring di dekat mobilnya. “Pak bangun pak! Hari sudah
mulai malam” Ia, membangunkan Pak Karto yang terbaring lemah, namun tak ada
jawaban. Karena khawatir dengan keadaan Pak Karto, Direktur percetakan itu
langsung membawa Pak Karto ke Rumah Sakit terdekat.
Tak lama dokter keluar dari ruangan UGD, dan mengizinkan
Direktur percetakaan itu menemui Pak Karto. “Bapak pemulung dekat percetakan
saya kan? Yang tadi mencegah komputer saya dimalingi?” tanya Direktur
percetakan itu. “I.. I.. iya pak benar” Pak Karto menjawab dengan penuh
canggung. “Perkenalkan saya Pak Nawam, saya Direktur percetakan di dekat tempat
bapak biasa memulung” kata Direktur percetakan itu, yang bernama Pak Nawam. Tak
terasa interaksi mereka berdua sudah cukup lama. Pak Nawam tersentuh hatinya
karena mendengar keseharian Pak Karto, terutama soal Putrinya Zahra yang sedang
dalam keadaan kritis. Pak Nawam berniat untuk membantu operasi Zahra dan
pengobatan Pak Karto hingga tuntas.
Keesokan harinya Pak Nawam kembali ke Rumah Sakit tempat
Zahra dirawat, Pak Karto pun heran, mengapa Pak Nawam kembali lagi ke Rumah
Sakit itu. Pak karto menyambut hormat Pak Nawam. Pak Nawam berkata “Pak Karto
saya berniat membayar oprasi dan biaya berobat Zahra hingga tuntas”. Spontan
Pak Karto bersujud syukur didepan kaki Pak Nawam dengan air mata berlinang dan
mengucap syukur kepada Allah SWT. Namun pak Nawam menyuruh Pak Karto menyuruh
bangun dari kakinya. Akhirnya Zahra pun di operasi.
Setelah beberapa hari, akhirnya operasi Zahra berhasil dan
keluar dari rumah sakit. Pak Karto berkata kepada Pak Nawam “Bagaimana saya
bisa mengganti semua biaya operasi dan pengobatan ini pak? Saya hanya seorang
pemulung, mana punya uang sebanyak itu?”. Pak Nawam menjawab dengan senyuman
“Tenang saja pak, tidak usah dipikirkan, saya ikhlas dengan semua biaya itu,
saya tau perasaan bapak karena saya juga punya seorang putri”. Akhirnya Pak
karto dan keluarganya diantar pulang ke rumahnya oleh Pak Nawam.
Sesampainya dirumah Pak Karto, Pak Nawam terdiam melihat
kondisi rumah Pak Karto yang memprihatinkan. Sesudahnya Zahra dan Ibu Sumiyati masuk
kerumah, Pak Nawam berkata kepada Pak Karto “Pak, saya ada tawaran menarik
untuk bapak, kebetulan percetakan saya membutuhkan karyawan kebersihan baru,
apakah bapak bersedia?”. Pak Karto menjawabnya dengan penuh kegembiraan yang
membuatnya bersujud syukur ke-2 kalinya “Saya bersedia pak, Alhamdulillah ya
Allah, engkau mendengar dan menjawab doa ku”. Pak Karto tidak berhenti-hentinya
mengucap terimakasih kepada Pak Nawam dan Allah SWT. Pak Nawam akhirnya pamit
pulang dari rumah Pak Karto.
Beberapa bulan kemudian Pak Karto pindah rumah, ke rumah yang
lebih layak, ekonominya pun terus membaik, karena Pak Karto menjadi karyawan
tetap di percetakan milik Pak Nawam itu. Pak Karto, Ibu Sumiyati, dan Zahra
hidup dengan bahagia namun tetap sederhana.
Moral: Jika kita melakukan sesuatu dengan berdoa, berusaha
dan sabar, sesulit apapun cobaan itu, pasti kita akan mendapat jalan keluar
yang lebih baik dari Allah SWT.
Moch.
Anindika Ramadhan