My fuckinphotography.

Rabu, 29 Februari 2012

Allah Bersama Golongan Mereka


Waktu menunjukan pukul 04:00 pagi , Gelap  masih menyelimuti heningnya malam kota Jakarta. Suara lengkingan ayam saling bersahutan dipenjuru kota, masih banyak orang yang terbuai dalam mimpinya. Tetapi di sebuah daerah kumuh pinggiran Jakarta, ada seorang pria tua yang sedang menangis dan meminta doa kepada Allah untuk kehidupannya yang lebih baik. Ia adalah Pak karto, sosok bapak yang gigih dalam hidupnya. Pak Karto mempunyai seorang istri yang bernama Ibu Sumiyati, yang bekerja sebagai penjahit dirumahnya. Pak karto mempunyai ekonomi yang kebawah, jangankan makan enak, membeli beras saja terkadang harus berhutang kepada warung. Tetapi Pak Karto adalah ayah yang amat sayang kepada anak semata wayangnya yang bernama Zahra. Walaupun Pak Karto tidak punya uang yang cukup, tetapi dengan kegigihannya anaknya tetap bersekolah.
Sesudah sholat dan berdoa, Pak Karto yang bekerja sebagai pemulung, sudah sibuk mempersiapkan alat kerjanya, berupa tongkat dan karung yang sudah usang. Pekerjaannya adalah pemulung limbah kertas di sebuah percetakan yang lumayan dekat dengan rumahnya. Pak karto hanya sarapan dengan segelas air putih yang hangat, itu adalah kebiasaan Pak Karto. Setelah sarapan, Pak Karto bergegas pamit kepada anak dan istrinya untuk bekerja. Dengan sandal jepitnya yang beda hamper putus, Pak Karto berjalan dengan penuh semangat seperti mentari pagi yang menyinari seluruh kota. Sesampainya di tempat mangkalnya, Pak Karto langsung mencari limbah-limbah yang bias dijual lagi, walau harus berebut dengan pemulung lain, tapi Pak Karto adalah orang yang sabar dan mau mengalah kepada orang lain, karena Pak Karto selalu berfikir “Pasti, saya akan mendapatkan yang lebih baik kalau bersabar dan mengalah”. Tak  terasa suara Adzan Dzuhur sudah bergema di masjid dekat tempat percetakan itu. Dengan seiring suara Adzan Dzuhur itu Pak Karto bergegas pulang dan membersihakn dirinya untuk melaksanakan Sholat Dzuhur. Selain pemulung Pak Karto juga marbot musholla dekat rumahnya, ia menjadi marbot seusai memulung.

Malam pun menyelimuti penjuru kota, pinggiran kota Jakarta yang kumuh penuh dengan kisah-kisah menyedihkan, menyimpan sejuta tanya yang pemerintahnya tak bertanggung jawab atas rakyatnya. Zahra anak perempuan Pak Karto mengeluh dadanya sakit, sampai badannya demam dan tubuhnya lemas. Namun Pak Karto hanya membelikannya obat warung, karena ia kira penyakit biasa pada anak-anak. Ada keinginan Pak Karto untuk mebawanya ke puseksamas. Namun Pak Karto hanya bisa menahan rasa sedih karena tidak bisa membawanya ke dokter atau puskesmas, karena penghasilannya yang pas-pasan, untuk makan saja susah.
Sudah hari ke-3 Zahra mengeluh dadanya sakit . Pak Karto dan Ibu Sumiyati berfikir, untuk mendapatkan uang tambahan agar Zahra bisa dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit. Ibu Sumyati teringat dia menyimpan uang tabungan dilemari pakaiannya yang hamper rubuh. Uang itu pun hanya cukup dipergunakan untuk modal usaha. Ibu Sumiyati yang tadinya hanya menjahit dirumah sekarang setiap pagi berdagang kue-kue pasar di pasar belakang rumahnya. Pak karto pun juga tidak diam, hanya memulung saja. Sesudah siangnya ia memulung, malamnya Pak Karto bekerja sebagai tukang parkir disebuah kios.
Sampai suatu ketika Zahra pingsan disekolahnya, guru Zahra langsung membawa Zahra ke puskesmas terdekat. Guru Zahra yang lain segera menuju rumah Zahra untuk memberi tahu Ibu sumyati. Ibu sumyati setengah lemas berlari menuju tempat kerja Pak Karto. Pak karto, yang sedang memulung pagi itu langsung bergegas meninggalkannya pekerjaannya. Mereka berdua bergegas menuju puskesmas dengan muka penuh kecemasaan.
Sesampainya di puskesmas, Pak Karto menahan tangis melihat anaknya terbaring lemah di ruang UGD puskesmas, dokter pun menyuruh mereka keluar dari ruangan karena kondisi Zahra yang sedang darurat. Tak lama dokter pun keluar, dan Pak Karto pun menghampirinya dengan muka pucat pasi. “Bapak, anak bapak terkena penyakit hepatitis, karena penyakitnya sudah lumayan parah, anak bapak harus di rujuk ke Rumah Sakit yang lebih memadai” kata dokter kepada Pak Karto. Spontan Pak Karto menjawab “Baikalah dok, demi kesehatan anak saya”. Pak Karto tidak memikirkan uang saat itu yang hanya ada di pikirannya “Akan kukerjakan apapun demi kesehatan anakku.”
Pak Karto dan istrinya adalah seorang yang sangat kuat dalam ibadahnya, karena menurut mereka Allah selalu bersama mereka dan menguji keimanan mereka. Suatu malam Pak Karto berdoa untuk kesembuhan anaknya, hingga kakinya bengkak karena terlalu lama khusyuk berdoa. Sesudah sholat seperti biasa pak karto segera pergi memulung. Dengan jalan sedikit pincang dan bermuka pucat, Pak Karto menuju tempat mangkal biasa ia memulung.
Sesampainya di tempat percetakan, Pak Karto pun memulung dan terus mencari limbah yang masih bias dijual. Sampai suatu ketika, Pak Karto melihat Komputer yang masih bagus dan mahal, yang tidak ditunggui oleh penjaganya. Ada sekelebat niatan Pak karto ingin mengambilnya. Tetapi karena keimanan kepada Allah SWT yang kuat dan dengan kejujurannya Pak Karto tidak mau membuat dosa dan masalah dalam hidupnya. Namun ada seorang teman pemulungnya yang melihat komputer itu juga, iya berniat ingin mengambilnya. Sesaat hampir mengambilnya, tiba-tiba pak karto mencegahnya, hingga sedikit berkelahi dengan teman sesama pemulungnya itu. Tak sengaja Direktur percetakaan yang baru datang dari rumahnya, melihat kejadiaan itu. Teman pemulungnya pun kabur karena ketakutan melihat Direktur percetakan yang baru keluar dari mobilnya itu. Lalu Direktur percetakan itu bertanya kepada Pak Karto tentang kejadian tadi. Pak Karto pun menjelaskan kronologinya. Direktur percetakan pun mengucapkan terima kasih kepada Pak Karto yang telah menyelamatkan komputer di tokonya itu.
Hari pun semakin siang, matahari semakin terik, hingga berasa jaraknya hanya sejengkal dengan kepala. Pak Karto pun terduduk lemas disebelah percetakan, didekat mobil mercy direktur percetakan, menunggu matahari sembunyi dibalik awan. Pak Karto yang hanya sarapan dengan air putih, menahan hebatnya lapar siang hari, hingga perutnya diganjal dengan limbah kertas yang disatukan. Tak lama kemudia, Pak Karto mendadak terserang pusing yang hebat, hingga membuatnya jatuh pingsan. Tak ada seorang pun yang menolong, teman-temannya sesama pemulung hanya mengira ia sedang tidur.
Suara Adzan Maghrib saling bersautan di penjuru kota, matahari pun semakin meredup sinarnya. Ibu sumiyati khawatir karena suaminya belum kunjung pulang dari pagi. Tak lama lagi toko percetakan ingin tutup. Pak Karto setengah sadar, ia masih terbaring lemas di dekat mercy direktur percetakan.
Toko percetakan pun sudah tutup, direktur percetakan bergegas pulang, dan menuju mobilnya. Sesampainya dimobil ia terkejut, melihat sosok bapak tua yang usang terbaring di dekat mobilnya. “Pak bangun pak! Hari sudah mulai malam” Ia, membangunkan Pak Karto yang terbaring lemah, namun tak ada jawaban. Karena khawatir dengan keadaan Pak Karto, Direktur percetakan itu langsung membawa Pak Karto ke Rumah Sakit terdekat.
Tak lama dokter keluar dari ruangan UGD, dan mengizinkan Direktur percetakaan itu menemui Pak Karto. “Bapak pemulung dekat percetakan saya kan? Yang tadi mencegah komputer saya dimalingi?” tanya Direktur percetakan itu. “I.. I.. iya pak benar” Pak Karto menjawab dengan penuh canggung. “Perkenalkan saya Pak Nawam, saya Direktur percetakan di dekat tempat bapak biasa memulung” kata Direktur percetakan itu, yang bernama Pak Nawam. Tak terasa interaksi mereka berdua sudah cukup lama. Pak Nawam tersentuh hatinya karena mendengar keseharian Pak Karto, terutama soal Putrinya Zahra yang sedang dalam keadaan kritis. Pak Nawam berniat untuk membantu operasi Zahra dan pengobatan Pak Karto hingga tuntas.
Keesokan harinya Pak Nawam kembali ke Rumah Sakit tempat Zahra dirawat, Pak Karto pun heran, mengapa Pak Nawam kembali lagi ke Rumah Sakit itu. Pak karto menyambut hormat Pak Nawam. Pak Nawam berkata “Pak Karto saya berniat membayar oprasi dan biaya berobat Zahra hingga tuntas”. Spontan Pak Karto bersujud syukur didepan kaki Pak Nawam dengan air mata berlinang dan mengucap syukur kepada Allah SWT. Namun pak Nawam menyuruh Pak Karto menyuruh bangun dari kakinya. Akhirnya Zahra pun di operasi.
Setelah beberapa hari, akhirnya operasi Zahra berhasil dan keluar dari rumah sakit. Pak Karto berkata kepada Pak Nawam “Bagaimana saya bisa mengganti semua biaya operasi dan pengobatan ini pak? Saya hanya seorang pemulung, mana punya uang sebanyak itu?”. Pak Nawam menjawab dengan senyuman “Tenang saja pak, tidak usah dipikirkan, saya ikhlas dengan semua biaya itu, saya tau perasaan bapak karena saya juga punya seorang putri”. Akhirnya Pak karto dan keluarganya diantar pulang ke rumahnya oleh Pak Nawam.
Sesampainya dirumah Pak Karto, Pak Nawam terdiam melihat kondisi rumah Pak Karto yang memprihatinkan. Sesudahnya Zahra dan Ibu Sumiyati masuk kerumah, Pak Nawam berkata kepada Pak Karto “Pak, saya ada tawaran menarik untuk bapak, kebetulan percetakan saya membutuhkan karyawan kebersihan baru, apakah bapak bersedia?”. Pak Karto menjawabnya dengan penuh kegembiraan yang membuatnya bersujud syukur ke-2 kalinya “Saya bersedia pak, Alhamdulillah ya Allah, engkau mendengar dan menjawab doa ku”. Pak Karto tidak berhenti-hentinya mengucap terimakasih kepada Pak Nawam dan Allah SWT. Pak Nawam akhirnya pamit pulang dari rumah Pak Karto.
Beberapa bulan kemudian Pak Karto pindah rumah, ke rumah yang lebih layak, ekonominya pun terus membaik, karena Pak Karto menjadi karyawan tetap di percetakan milik Pak Nawam itu. Pak Karto, Ibu Sumiyati, dan Zahra hidup dengan bahagia namun tetap sederhana.
Moral: Jika kita melakukan sesuatu dengan berdoa, berusaha dan sabar, sesulit apapun cobaan itu, pasti kita akan mendapat jalan keluar yang lebih baik dari Allah SWT.



Moch. Anindika Ramadhan

Kamis, 09 Februari 2012

Entah apa ini


Ini pukul jam 2 pagi, music distorsi masih mengiring kuping hingga aku terus terbangun, menjaga sang malam yang sunyi untuk menemani sang bintang. Kutitip salam kepada bulan untuk seseorang disana yang cantik mantraguna, mungkin ini hanya sebagian kecil dari sebuah mimpi yang besar. Entah apa ini, ketikaku insomnia, aku menjadi penyair dan penulis yang mempunyai sejuta imajinasi untuk kubagi kepada kalian yang bosan dengan keseragaman.